Minggu, 01 Februari 2009 |
Mengenal Sistem Teknologi Informasi |
Istilah TI ( Teknologi Informasi ) atau IT ( Information Technology ) yang populer saat ini adalah bagian dari mata rantai panjang dari perkembangan istilah dalam dunia SI ( Sistem Informasi ) atau IS ( Information System ). Istilah TI memang lebih merujuk pada teknologi yang digunakan dalam menyampaikan maupun mengolah informasi, namun pada dasarnya masih merupakan bagian dari sebuah sistem informasi itu sendiri. TI memang secara nota bene lebih mudah dipahami secara umum sebagai pengolahan informasi yang berbasis pada teknologi komputer yang tengah terus berkembang pesat. Sebuah Sistem TI atau selanjutnya akan disebut STI, pada dasarnya dibangun di atas lima tingkatan dalam sebuah piramida STI. Berurutan dari dasar adalah : konsep dasar, teknologi, aplikasi, pengembangan dan pengelolaan.
Pengantar STI 1. Konsep Dasar Konsep memberikan pemahaman yang penting dan menyeluruh dari sebuah STI yang tengah dibangun. Setidaknya ada 4 (empat) konsep dasar dari sebuah STI yang harus dipahami secara umum. 1. Konsep tentang sistem yang tengah berlangsung atau berlaku. Ini penting karena STI itu sendiri adalah sebuah sistem dan merupakan bagian dari sistem pula, misalnya dalam sebuah perusahaan. 2. Konsep tentang informasi. Informasi tentu saja adalah produk yang diharapkan dapat dihasilkan dari sebuah STI dan informasi adalah sebuah fokus yang harus mendapatkan pemahaman serius secara umum dan merata. Sudah menjadi sebuah permasalahan yang sering kali muncul manakala sering kali didapati sebuah kenyataan bahwa terkadang sebuah STI tidak selalu menghasilkan informasi, bahwa banyak dari STI dapat dinilai gagal karena ternyata bukan informasi yang dihasilkan, meskipun didukung teknologi yang cukup memadai. 3. Konsep yang menyangkut komponen-komponen pembentuk STI itu sendiri. Pemahaman akan hal tersebut akan berguna saat proses penerapan STI dengan aplikasi – aplikasi berbeda sambil tetap mempertahankan STI tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh. Aplikasi STI untuk Bagian Penjualan sudah tentu akan berbeda dengan aplikasi yang digunakan di Bagian Keuangan dan pasti berbeda dengan yang diterapkan di Bagian Personalia, namun ketiganya merupakan bagian dari sebuah STI yang lebih luas dan besar dan dibangun atas dasar yang sama. Konteks penerapannyalah yang membuat ketiganya memiliki perbedaan. 4. Konsep tentang pemanfaatan informasi yang dihasilkan dari STI yang dikembangkan. Dengan memahami tipe-tipe/jenis-jenis pemanfaatan informasi, maka dapat diketahui karakteristik/macam ragam informasi yang relevan untuk dihasilkan oleh sebuah STI. 2. Teknologi Di atas konsep dasar dapat ditentukan teknologi yang akan digunakan dalam STI yang akan dikembangkan. Dapat berupa teknologi komputer, telekomunikasi atau teknologi apapun yang dapat memberi nilai tambah dalam proses STI 3. Aplikasi Pengaplikasian dari STI dapat diterapkan dengan berbagai cara. Bisa diterapkan mengikuti fungsi-fungsi organisasi atau tingkatan manajemen dimana STI tersebut akan diaplikasikan. Beberapa contoh STI yang diaplikasikan mengikuti fungsi-fungsi organisasi yang ada misalnya, MIS (Marketing Information System) untuk Bagian Penjualan, HRIS (Human Resources Information System) untuk Bagian Personalia, atau FIS (Financial Information System) untuk Bagian Keuangan. Sedangkan beberapa contoh STI yang diaplikasikan mengikuti fungsi-fungsi manajemen yang ada misalnya, TP (Transaction Processing) dan PCS (Process Control System) untuk manajemen level bawah, DSS (Decision Support System) atau sistem penunjang keputusan, ES (Expert System) atau sistem pakar, kemudian ada EIS (Executive Information System) untuk manajemen tingkat menengah dan atas.
4. Pengembangan STI dapat dikembangkan melalui beberapa cara. Antara lain : 1. SDLC ( System Development Life Cycle ), yang menempuh tahapan analisis, desain, implementasi dan perawatan dalam siklus hidupnya. 2. Metode Paket (Package), yang merupakan pembelian modul dalam bentuk paket STI. 3. Prototype, mengandalkan pengembangan paket kecil secara terus-menerus selama digunakan sampai prototype tersebut memiliki bentuk jadi yang diinginkan. 4. EUC (End User Computing) yang dikembangkan para praktisi dari dalam/insourcing. 5. Outsourcing, yang merupakan STI yang dikembangkan dan dioperasikan oleh pihak ketiga/vendor. 5. Pengelolaan Tahap paling tinggi dari pengembangan STI adalah pengelolaan STI itu sendiri yang telah beroperasi. Ada 2 (dua) isu penting tentang pengelolaan STI. 1. Pertama, pengendalian dan kontrol terhadap STI itu sendiri. Kontrol yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan STI tidak dapat mencapai tujuannya. Informasi yang diinginkan dari STI mungkin bisa menjadi tidak akurat. Kontrol dan pengendalian di sini termasuk di dalamnya isu-isu seputar kemanan STI. 2. Kedua, etika dan politik informasi yang juga harus diberikan perhatian yang cukup. Pengelolaan di bidang ini yang dilakukan dengan tidak tepat mungkin akan menurunkan kinerja. Demikian juga dengan pengelolaan politik informasi. Banyak STI yang secara teknis bagus, tetapi mengalami kegagalan dalam penerapannya karena adanya politik informasi yang menggagalkan STI tersebut. Salah satu diantaranya adalah adanya resistance to change atau keengganan berubah karena STI yang diterapkan ini akan menurunkan kekuasaan atau kesempatan seseorang yang menyebabkan yang bersangkutan enggan menerima STI yang ada.
Informasi dalam STI Dalam sistem teknologi informasi, selanjutnya disebut STI, serumit apa pun atau sesederhana apa pun pengembangannya, terdapat satu inti dan tujuan, yaitu menghasilkan informasi itu sendiri. Sesederhana apa pun STI yang dikembangkan, jika bisa menghasilkan informasi yang diharapkan, maka pengembangannya bisa dikatakan berhasil. Namun di lain pihak, secanggih apa pun STI yang dikembangkan, jika tidak dapat menghasilkan informasi yang diharapkan, maka pengembangan STI yang canggih tersebut dikatakan gagal. Kata ‘informasi’ telah menjadi urat nadi pengembangan STI. Lalu, apakah informasi itu sendiri ? Telah disepakati secara umum, informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang berguna bagi para pemakainya. Dalam mencermati kalimat tersebut perlu diperhatikan bahwa data yang diolah menjadi bentuk yang berguna, tidak hanya sekedar memiliki arti. Katakanlah, misalnya informasi “1,3 meter”, 1,3 meter jelas memiliki arti sebagai satu koma tiga satuan panjang yang bernama “meter”, namun tidak begitu berguna bagi orang yang menginginkannya dalam satuan “centimeter”. Dengan demikian “1,3 meter” tersebut harus diolah kembali agar menjadi berguna bagi orang yang memerlukannya. Misalnya dengan menyodorkan pada orang tersebut konversi satuan meter ke centimeter, bahwa “1 meter” adalah sama dengan “100 centimeter” sehingga kita bisa memberikan kepadanya angka “130 centimeter”. Informasi tersebut kini menjadi berguna bagi orang yang menginginkan informasi dalam satuan “centimeter”. Di dalam STI, sebuah informasi dapat dikatakan berguna apabila ditopang oleh tiga hal : 1. Tepat pada kebutuhannya atau relevan 2. Tepat pada waktunya atau timelines 3. Tepat nilainya atau accurate Dalam STI, informasi yang tidak didukung oleh ketiga hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai informasi yang berguna, tetapi dapat dikatakan sebagai informasi sampah atau garbage. Kelak anggapan tersebut memunculkan hukum Gi = Go (Garbage in = Garbage out / Sampah yang masuk = Sampah yang keluar). Dalam perkembangannya, informasi di dunia STI banyak dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam dunia organisasi bisnis yang memang merupakan konsumen terbesar dari pengembangan STI. Hal tersebut mengakibatkan informasi dalam STI secara umum disebutkan memiliki 3 (tiga) tipe (Jogiyanto HM) sebagai berikut : 1. Informasi Pengumpulan Data (Scorekeeping Information) Merupakan informasi yang mengambil bentuk berupa akumulasi atau pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan, “ Am I doing well or badly ?” “Apakah saya sudah mengerjakannya dengan baik atau belum ?”. Dalam sebuah organisasi bisnis atau perusahaan, informasi ini berguna bagi manajer tingkat bawah untuk mengevaluasi kinerja personel-personelnya. 2. Informasi Pengarah Perhatian (Attention Directing Information) Merupakan informasi untuk membantu memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang menyimpang, ketidakberesan, ketidakefesienan dan kesempatan-kesempatan yang dapat dilakukan informasi tersebut untuk menjawab pertanyaan, “What problem should I look into ?” “Permasalahan apakah yang seharusnya saya cermati ?” Dalam sebuah organisasi bisnis atau perusahaan, informasi tipe ini akan membantu manajemen menengah untuk melihat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan disini bisa berupa over budget biaya, target penjualan yang tidak tercapai, pendapatan perusahaan yang menurun, biaya produksi yang meningkat diluar perkiraan atau lainnya. Yang merupakan perbedaan dari apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dalam kenyataan, das sein vs das sollen. 3. Informasi Pemecahan Masalah (Problem Solving Information) Merupakan informasi yang membantu pengambilan keputusan untuk memecahkan permasalahan yang
tengah dihadapi. Informasi ini untuk menjawab pertanyaan “ Of the several ways of doing the job, which is the best ?” Problem solving biasanya dihubungkan dengan keputusan-keputusan yang tidak berulang-ulang serta situasi yang membutuhkan analisis yang dilakukan oleh manajemen tingkat atas. Masih bersentuhan dengan pengembangan STI dalam sebuah organisasi yang bergerak di bidang bisnis khususnya, informasi mengambil beberapa karakteristik. Karakteristik yang berbeda tersebut biasanya disebabkan pembagian tingkat manajemen yang diberlakukan dalam sebuah organisasi bisnis. Setiap level manajemen memiliki perbedaan fungsi dan fokus kerja sehingga membutuhkan informasi yang relevan pula. Karena itulah sebenarnya, informasi mengikuti karakteristik dari tiap level manajemen yang ada. Beberapa karakteristik yang bisa disebutkan antara lain : 1. Kepadatan Informasi Manajemen tingkat bawah biasanya memerlukan informasi yang berkarakter mendetail dan terperinci atau dengan kata lain, kurang padat. Hal tersebut terjadi karena manajemen level bawah lebih banyak berkecimpung dengan tugas pengendalian operasi langsung. Sedangkan untuk manajemen yang lebih tinggi, biasanya informasi makin tersaring, lebih ringkas dan semakin padat. 2. Frekuensi Informasi Frekuensi informasi yang diterima manajemen yang berbeda akan berbeda pula. Untuk manajemen tingkat bawah biasanya lebih cenderung rutin karena berkaitan dengan tugas dan pekerjaan yang rutin pula serta berulang-ulang. Semakin tinggi level manajemen, informasi yang dibutuhkan akan semakin tidak rutin dan seringkali ad hoc atau mendadak karena manajemen yang makin tinggi seringkali dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tidak terstruktur dimana pola dan waktunya tidak pasti. 3. Jadwal Informasi Masih berkaitan dengan frekuensi. Karakter informasi yang disajikan secara periodik dan jadwal yang jelas biasanya dikonsumsi oleh manajemen tingkat bawah. Sedangkan manajemen yang lebih tinggi biasanya tidak terjadwal. 4. Periode Informasi Tersebut Dibutuhkan Manajemen tingkat bawah lebih membutuhkan informasi historis untuk mengevaluasi tugas-tugas rutin yang sudah terjadi. Sedangkan karakter informasi yang dibutuhkan oleh manajemen yang lebih tinggi cenderung informasi prediksi yang menyangkut nilai masa depan. 5. Akses Informasi Informasi historis, rutin/periodik, berulang-ulang dapat diakses secara offline. Sajian offline ini ditujukan untuk manajmen tingkat bawah. Sebaliknya, untuk manajmen tingkat atas yang memerlukan informasi kapanpun diperlukan akses informasi secara online. 6. Luas Informasi Terfokus pada masalah tertentu digunakan oleh manajmen tingkat bawah yang memang mempunyai tugas yang khusus. Sedangkan untuk manajemen tingkat atas membutuhkan informasi yang semakin luas karena manajemen tingkat atas berhubungan dengan permasalahan yang lebih luas. 7. Sumber Informasi Manajemen tingkat bawah biasanya lebih terfokus pada pengendalian operasi internal perusahaan, maka manajemen tingkat ini memerlukan informasi yang bersumber pada internal perusahaan itu sendiri. Sedangkan untuk menejemen tingkat atas yang berorientasi pada strategi dan perencanaan di masa yang akan datang , selain informasi internal, diperlukan juga informasi yang bersumber dari eksternal perusahaan itu sendiri.
STI di Persimpangan Jalan Sudah bukan rahasia lagi jika pengembangan Sistem Teknologi Informasi (STI) memakan biaya yang tidak sedikit, apalagi jika yang dikejar adalah kualitas terbaik. Slogan ‘Harga Tidak Pernah Bohong’ pun sudah jadi hal yang wajar dalam pengembangan STI. Namun, apa boleh buat ? Pengembangan STI pun tetap dipaksakan untuk bergulir meskipun para pemainnya masih terkesan ‘malu-malu’ dan ‘setengah-setengah’ dalam menerjunkan dirinya ke tengah pertarungan di abad baru informasi yang dimotori oleh keajaiban teknologi ini. Banyak hal yang menyebabkan hal demikian tersebut di atas. Memiliki STI yang tengah dikembangkan sudah pasti memberikan prestise sendiri bagi pelakunya. STI juga tengah menjadi salah satu ikon kecanggihan dan bonafiditas sebuah organisasi bisnis yang mengembangkannya. STI pun ditahbiskan sebagai simbol modernitas saat ini. Dibalik semua itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk prestise, ikon kecanggihan serta simbol modrenisasi jelas tidak sedikit. Belum lagi implementasi yang tidak berujung-pangkal dengan jelas pun masih terus membayangi pengembangan STI di sebuah organisasi bisnis yang disebabkan adanya hambatan yang dihadapi saat pengimplementasian yang muncul dari dalam organisasi itu sendiri, dan juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Di satu sisi sebuah organisasi bisnis mendambakan prestise, ikon kecanggihan dan simbol modernitas sementara di sisi lain pada saat yang sama dihadapkan pada biaya yang melangit dan implementasi yang bakal tersendat-sendat. Setidaknya, seperti itulah gambaran umum yang bisa diambil saat ini dalam mengembangkan STI. STI setidaknya baru mencapai tahapan lipstik atau asesoris dari sebuah organisasi bisnis. Dengan kata lain, pemaksimalan pengembangan STI belum mencapai tahapan yang memang menjadi sebuah motor penggerak bisnis disebuah organisasi bisnis, katakanlah baru sekian persen yang sedikit dari semua pemain yang berkecimpung mengembangkan STI untuk kepentingan organisasi bisnis mereka. Lalu, apakah ada fungsi yang bisa diberdayakan dari STI itu sendiri untuk kepentingan organisasi bisnis ? Menyambung pertanyaan di atas, ada beberapa pertanyaan yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bagaimana dengan faktor persaingan / kompetisi bisnis ? Apakah STI bisa menjadi salah satu faktor dalam menentukan daya saing misalnya. Jika mengikuti model Porter (1985), persaingan dibangun atas 5 (lima) ancaman bagi sebuah organisasi bisnis, yaitu : 1. Pesaing yang sudah ada (rivalry among existing competitor) 2. Ancaman pesaing baru (threat of new entrants) 3. Ancaman produk subtitusi/pengganti (threat of subtitute product and service) 4. Kekuatan tawar-menawar dari pelanggan (bargaining power of consumers) 5. Kekuatan tawar-menawar dari pemasok (bargaining power of suppliers) Ancaman-ancaman tersebut sebetulnya sebuah kesempatan (oportunity) yang menguntungkan apabila sebuah organisasi bisnis mampu mengatasi hubungan dengan pelanggan, pemasok, produk dan jasa subtitusi, calon pesaing baru dan pesaing lama. Lalu, menyambung pertanyaan-pertanyaa sebelumnya, “Apakah STI bisa berperan di bidang tersebut ? “ Tiga serangkai Applegate, Mc Farlan dan Mc Kenny (1996) menjawab pertanyaan tersebut di atas dengan mengajukan 5 (lima) pertanyaan berikut ini : 1. Dapatkah STI merubah dasar persaingan ? Pertanyaan ini diajukan untuk menjawab ancaman dari pesaing-pesaing yang sudah ada. STI harus bisa berperan merubah dasar cara bersaing. Contoh terbaik adalah penjualan buku lewat internet yang
dilakukan oleh www.amazon.com yang revolusioner. Dan ketika perusahaan sejenis mulai bermunculan, amazon.com segera merubah taktik dengan menjalin kerjasama dengan situs-situs terkemuka di dunia dengan menempelkan bannernya dan perkembangan yang terjadi kemudian justru kini banya situs yang mendaftarkan diri ke amazon.com sebagai link dari amazon.com dengan pembagian keuntungan yang layak. 2. Dapatkah STI membangun halangan-halangan untuk masuk bagi pesaing ? Untuk mengatasi ancaman pesaing-pesaing baru, perusahaan dapat melakukannya dengan membangun halangan-halangan untuk masuk sebagai mekanisme pertahanan diri. Ada banyak cara untuk melakukan hal tersebut. Membuat produk skala ekonomis, membuat biaya berpindah, menguasai akses ke chanel distribusi, membuat produk atau jasa yang berbeda atau menciptakan biaya yang mahal untuk kompetisi. Dalam bidang ini, STI disebut sebagai pemampu (enabler) karena memang potensial untuk menciptakan hal tersebut.. 3. Dapatkah STI digunakan untuk menghasilkan produk-produk baru ? Pertanyaan ini diajukan untuk menjawab ancaman dari produk-produk baru yang biasanya dimotori oleh bidang Research and Development yang didukung oleh STI yang canggih. 4. Dapatkah STI membangun biaya berpindah ? Pertanyaan ini berhubungan dengan kekuatan tawar-menawar dari para konsumen atau pelanggan. Sudah diakui oleh kalangan bisnis jika para pelanggan memiliki kekuatan tawar-menawar. Untuk menjadikan pelanggan tetap setia dan loyal, kekuatan tawar-menawar pelanggan tersebut harus dikurangi. Pelanggan harus dikunci untuk tetap setia dan loyal. Cara yang paling efektif untuk mengunci pelanggan agar tetap loyal adalah dengan menimbulkan swiching costs/biaya berpindah. Contoh terbaik adalah dari perusahaan McKesson corp, sebuah perusahaan obat. McKesson memberikan terminal-terminal kepada para pelanggannya, toko-toko obat dan apotik yang digunakan untuk pemesanan obat secara online. Pelanggan McKesson mempunyai 2 (dua) alternatif, memesan obat pada McKesson dengan beberapa keuntungan dengan menghemat beberapa macam biaya seperti biaya kesalahan, biaya finansial, biaya waktu dan biaya kenyamanan. Atau memesan ke supplier obat lainnya dengan mengeluarkan biaya pulsa telepon, biaya kertas facs, resiko kekeliruan dalam pemesanan dan kekurang nyamanan dalam melakukan pemesanan. 5. Dapatkah STI merubah keseimbangan kekuatan dari hubungan dengan pemasok ? Pertanyaan ini adlah untuk menjawab ancaman kekuatan tawar-menawar dengan pemasok/supplier. Pemasok mempunyai kekuatan tawar-menawar untuk menentukan harga barang dan waktu pengiriman barang terutama untuk barang yang langka atau cepat terserap habis di pasaran atau barang-barang yang memiliki permintaan yang tinggi dari konsumennya. Kekuatan pemasok tersebut bisa diimbangi dengan cara menimbulkan persaingan antar pemasok dan memilih pemasok yang terbaik. Salah satu contohnya adalah ritel WalMart dan Macro (Indonesia). Perusahaan tersebut meminta pemasoknya untuk mengontrol sendiri inventorinya masing-masing dan mengecek faktur pengiriman dan tagihan-tagihan pemasok itu sendiri via web/internet maupun saling menghubungkan STI dengan para pemasoknya. Dengan cara ini, Wal Mart dan Macro dapat menghemat biaya persediaan barang dan biaya-biaya administrasi lainnya dan meningkatkan akurasi data serta efesiensi kerja serta memilih pemasok yang terbaik untuk memasarkan produk-produk sejenis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas sudah pasti mempunyai nilai strategis dan kesempatan-kesempatan strategis dalam memanfaatkan STI semaksimal mungkin untuk kepentingan sebuah organisasi bisnis. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk tidak membuang nilai dan kesempatan strategis tersebut agar tidak terbuang percuma ?
Porter dan Millar (1986) mengajukan 5 (lima) tahapan yang bisa diambil untuk menjangkau nilai dan kesempatan strategis tersebut : 1. Menilai Intensitas Informasi Porter dan Millar mengusulkan untuk mengecek setiap kegiatan di rantai nilai organisasi untuk melihat intensitas kebutuhan informasinya. Kegiatan yang mengandung intensitas informasi yang tinggi akan semakin bernilai strategis dan mempunyai kesempatan mendapatkan keunggulan strategis. 2. Menentukan Peran STI di Struktur Organisasi Peran STI untuk menambah nilai perlu diidentifikasi dan ditentukan secara jelas. Apakah untuk meningkatkan respon bagi pelanggan, penyedia informasi strategis atau lainnya. 3. Menentukan Pioritas Apa yang Bisa Dilakukan STI Mengidentifikasi dan merangking (berdasarkan prioritas/fokus) cara-cara yang dapat dilakukan STI untuk membuat keuntungan strategis. 4. Meneliti Kemungkinan STI dalam mengembangkan bisnis baru 5. Membuat Rencana untuk Mengambil Keuntungan dari STI STI harus direncanakan pararel dengan perencanaan bisnis untuk mendapatkan keuntungan dari STI yang dikembangkan. Sementara itu, melengkapi model Porter dan Millar dalam memposisikan STI untuk menjangkau nilai dan kesempatan strategis, model Peter G. Keen yang dikenal dengan nama Keen’s reach and range memberikan framework berdasarkan 2 (dua) faktor : 1. Jangkauan ( Reach ) Jangkauan menunjukkan letak dari STI , apakah terletak di dalam (internal) ataukan sudah di luar (eksternal), inside organisasi ataukan outside organisasi. 2. Lingkupan ( Range ) Lingkupan menunjukkan luas dari aplikasinya.
Jangkauan / Reach Siapapun, dimanapun E kapanpun Pihak Luar dgn STI platform berbeda Pihak Luar dgn STI D platform sama Outside / Eksternal Inside / Internal Akses dalam organisasi C lokasi global Akses dalam organisasi B lokasi domestik Dalam satu lokasi A Lingkupan / Range
Pada awalnya, sebuah perusahaan yang pertama kali menerapkan pengembangan STI, jangkauannya masih berada di internal perusahaan dengan lingkup aplikasi yang masih sedikit yang digambarkan dengan titik “A”, namun selanjutnya akan semakin berkembang dengan posisi STI di titik “B” dan seterusnya. Menarik untuk menyertakan sebuah perjalanan supllies rumah sakit dari Amerika, American Hospital Supply Company (AHSC) dalam meraih nilai dan kesempatan strategis dalam Model Poter dan Millar dalam ruang lingkup Keen’s Reach and Range. 1. STI mulai diterapkan AHSC sejak tahun 1950 dan sampai dengan awal 1960 STI yang digunakan masih berorientasi pada operasi internal dan managemen kontrol. 2. Tahun 1964 STI AHSC mulai ditarik keluar untuk membantu rumah-rumah sakit lokal dalam mengendalikan persediaan barangnya dengan menggunakan teknik EDI ( Electronic Data Interchange) yang paling awal dan sederhana. Menggunakan kartu plong dan unit card reader yang kemudian meneruskan pesanan barang ke AHSC melalui jaringan telepon. Dampak positifnya, order barang semakin akurat, waktu pengiriman barang menurun dan persediaan barang yang mengendap di rumah sakit juga menurun. Sistem ini kemudian disebut ASAP (As Soon As Posible). 3. Dengan munculnya komputer personal, ASAP ditingkatkan. Kartu-kartu plong mulai ditinggalkan dan mulai beralih pada komputer micro serta mainframe yang terhubung secara online dari AHSC dengan rumah sakit yang menjadi langganannya. Pada tahap ini pula, diimplemntasikan VIP, sebuah STI yang menghubungkan AHSC dengan para pemasoknya. Hasil kombinasi dari ASAP dan VIP ini adalah peningkatan produktifitas pengolahan order sebesar US$ 11 Juta dengan peningkatan pendapatan untuk
AHSC sebesar US$ 4-5 juta. 4. Tahun 1985, AHSC kemudian dibeli oleh Baxter Travenol yang kemudian bekerja sama dengan General Electric Information Service (GEIS) membuat ASAP generasi baru yang diberi nama ASAP Express. Sistem ini mengintegrasikan VIA dan ASAP untuk membuat jaringan elektronik untuk supplies rumah sakit yang difasilitasi GEIS. 5. Tahun 1994, Baxter Travenol meninggalkan ASAP dan mulai bekerja sama dengan Bergen Burnsweig (distributor farmasi), Boise Cascade (distributor produk-produk kantor), Eastman Kodak (pemasok sistem gambar/image) dan TSI International (pemasok perangkat lunak dan EDI) untuk membuat sistem dengan nama OnCall. Sistem ini menyediakan hubungan langsung ke masing-masing pihak melalui e-commerce. STI memang berada di simpang jalan antara fungsinya sebagai asesoris dan sekedar lipstik dengan STI sebagai kekuatan yang sangat besar dalam mengembangkan usaha dari sebuah organisasi bisnis. Jadi, pilih mana ?
Outsourcing Percepatan Pengembangan STI American Hospital Supply Company (AHSC) memulai pengembangan Sistem Teknologi Informasi (STI) sejak tahun 1950 untuk mencapai tingkat pengembangan STI pada saat ini. Sebuah usaha pengembangan STI yang terus-menerus, memakan waktu yang lama dan sudah pasti memakan biaya yang sangat besar. Namun, pada saat ini, tidak semua organisasi bisnis sepakat dengan apa yang ditempuh oleh AHSC untuk mengembangkan STI. Faktor persaingan bisnis yang sarat strategi, bidang persaingan bisnis yang semakin meluas dan kompleks, perkembangan teknologi yang sangat cepat membuat organisasi-organisasi bisnis ini memutar otak lebih keras untuk bisa mengembangkan STI tanpa mengganggu fokus bisnis mereka baik dari segi budget, strategi maupun sumberdaya organisasi lainnya. Dengan kata lain mereka mengharapkan pengembangan STI yang progresif, cepat dalam pengembangan, cepat dalam implementasi, berkelas, berkualitas tinggi, solid dan ditangani oleh para expert / pakar dibidangnya sekaligus sanggup membawa organisasi bisnis mereka memiliki kemampuan daya saing yang meningkat dan tidak ragu untuk terjun dibidang persaingan bisnis yang global. Nyaris dengan cara instan. Gagasan-gagasan seperti itulah yang kemudian melahirkan istilah pengembangan STI metode Outsourcing, sebuah metode pengembangan STI secara terpadu yang dikembangkan dan dikelola oleh pihak ketiga. Motode outsourcing ini menjadi pilihan karena memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut : 1. Biaya teknologi yang semakin meningkat dan akan lebih murah jika perusahaan tidak berinvestasi lagi tetapi menyerahkan pada pihak ketiga dalam bentuk outsourcing yang terhitung lebih murah dibandingkan mengembangkan sendiri dikarenakan outsourcer menerima jasa dari perusahaan lainnya sehingga biaya tetap outsourcer dapat dibagi ke beberapa perusahaan yang memanfaatkan jasanya. 2. Mengurangi waktu proses karena beberapa outsourcer dapat dipilih lebih dari satu sekaligus untuk bekerja sama untuk menyediakan jasa ini kepada perusahaan. 3. Jasa yang diberikan oleh outsourcer telah dikembangkan oleh para ahlinya 4. Suatu perusahaan mungkin tidak mempunyai pengetahuan tentang sistem teknologi sedangkan outsourcer memilikinya 5. Perusahaan merasa tidak perlu dan tidak ingin melakukan transfer teknologi dan tranfer pengetahuan yang dimiliki outsourcer. 6. Meningkatkan fleksibilitas untuk melakukan atau tidak melakukan investasi 7. Mengurangi resiko kegagalan investasi yang mahal 8. Perusahaan dapat memfokuskan pada pekerjaan lain yang lebih penting Sedangkan paket-paket aplikasi yang terintegrasi dalam sebuah metode outsourcing biasa disebut ERP (Enterprise Resources Planning), suatu perangkat lunak / software dengan aplikasi yang terintegrasi dengan baik untuk digunakan secara luas dalam organisasi bisnis. Termasuk di dalamnya TPS (Transaction Processing System) ditambah dengan sistem-sistem informasi fungsional yang terintegrasi. Aplikasi-aplikasi yang terintegrasi itu biasanya dapat digolongkan dalam fungsi-fungsi akuntansi, keuangan, sumber daya manusia, pemasaran, logistik dan lainnya. Aplikasi yang menyangkut fungsi akuntansi biasanya modul buku besar, piutang dagang, hutang dagang, aktiva tetap, manajemen kas dan akuntansi. Fungsi keuangan dikelola oleh modul analisis portofolio, analisis resiko, analisis kredit, manajemen aktiva, sewa guna dll. Aplikasi ERP untuk fungsi SDM diantaranya rekruitmen, penggajian, manajemen personil, pengembangan karyawan dan manajemen kompensasi serta lainnya. Dibudang pemasaran meliputi manajemen relasi pelanggan, pemasukkan order dan
pemrosesan order dll. Sedangkan ERP dibidang logistik biasanya perencanaan produksi, menejemen material dan manajemen pabrik. ERP berbeda dengan paket-paket komersial lainnya. Perbedaannya antara lain : 1. Modul-modul ERP terintegrasi lewat basis data yang umum. Sebagai misalnya, jika terjadi transaksi order penjualan di suatu tempat, maka hasil dari transaksi ini akan langsung berakibat di basis data untuk modul yang lainnya, misalnya modul akuntansi, logistik, pengiriman dll 2. Modul-modul ERP dirancang sesuai dengan proses bisnis yang mengikuti proses rantai nilai (value chain) atau rantai penyediaan (supply chain) yaitu aktivitas mulai dari logistik bahan mentah, produksi, logistik bahan jadi, penjualan dan pemasaran dan sebagainya. Dengan kata lain modul ERP dirancang mengikuti proses bisnis dari hulu hingga hilir. Manfaat ERP menurut penelitian terakhir yang dilakukan oleh Martin (et al., 2002) menunjukkan adanya 6 (enam) keuntungan dengan menerapkan paket ERP. 3 (tiga) keuntungan berhubungan dengan masalah bisnis, 2 (dua) berhubungan dengan STI dan 1 (sastu) berhubungan baik bisnis maupun STI. Tiga keuntungan yang berhubungan dengan masalah bisnis antara lain : 1. Integrasi data yang menyebabkan akses data ke unit bisnis lain, fungsi-sungsi lain, proses-proses dan organisasi meningkat. 2. Menyediakan cara lain untuk melakukan bisnis yaitu lewat rekayasa proses bisnis (business process reengineering) menuju ke orientasi proses dan pengurangan biaya proses bisnis. 3. Menyediakan kemampuan global dengan menyediakan globalisasi lewat proses bisnis yang umum dan kelas dunia yang berstandar internasional. Kedua keuntungan yang berkaitang dengan STI : 1. Manfaat menerapkan paket yang sudah jadi bukan membangunnya dari bawah. Manfaat yang diperoleh adalan manfaat waktu yang lebih cepat, biaya yang relatif murah dan kemampuan dari paket. 2. Memanfaatkan arsitektur teknologi informasi yang digunakan yang dapat menghemat biaya Sedangkan sebuah manfaat bagi bisnis dan STI adalah fleksibilitas menggunakan teknologi client server yang mudah dikembangkan sesuai dengan pertumbuhan bisnis. Penelitan yang dilakukan oleh Martin et al. (2002) membagi 2 (dua) tujuan organisasi menerapkan ERP : 1. Untuk menerapkan aktivitas mata rantai proses bisnis dari hulu hingga hilir dalam satu kesatuan yang terintegrasi dengan baik. 2. Untuk mendukung aktivitas bisnis fungsional meliputi proses-proses akuntansi, keuangan, sumber daya manusia dan fungsi-fungsi lainnya. Pada saat ini ada beberapa penjual jasa outsourcing lengkap dengan ERP-nya antara lain Oracle, SAP (Systemabalyse und Programmentwicklung), Baan, J.D. Edwards, IFS (Industrial and Financial System), Peoplesoft dan lain-lain. Untuk saat ini Oracle dan SAP adalah yang paling banyak dipakai di dunia. Outsourcing dan ERP-nya cukup fleksibel dalam masalah pengelolaannya. Ada 4 (empat) alternatif pengelolaan outsourcing ini : 1. Buy-In (Beli ERP dikelola internal), yaitu outsourcer menyediakan sumberdaya STI seperti pemogram komputer namun untuk pengelolaan kegiatan-kegiatan STI masih dikerjakan di departemen IT secara internal. Departemen IT internal ini bertanggungjawab menyediakan hasilnya. Hubungan kerjasama antara perusahaan dengan outsourcer biasanya hanya hubungan bisnis berjangka pendek. 2. Prefferred Supplier (Pemasok terpilih), sama seperti buy-in, namun hubungan bisnis antara perusahaan dan outsourcer berjangka panjang. 3. Contract-Out (kontrak penuh), yaitu outsourcer menyediakan sumber-sumber daya STI semacam pemogram komputer, mengelola kegiatan-kegiatan STI dan bertanggung jawab menyediakan hasilnya. 4. Prefferred Contractor (Kontraktor terpilih),yaitu perusahaan dan outsourcer membangun kerjasama jangka panjang.
Sedangkan hambatan-hambatan yang bisa muncul saat mengembangkan metode outsourcing dengan paket ERP-nya antara lain : 1. Implementasi ERP bukan hal yang bisa dianggap enteng dan organisasi harus merubah cara mereka berbisnis. Hal tersebut mungkin akan bertambah sulit dengan adanya resistance to change dari personil yang terkena imbasnya akibat perubahan proses bisnis. 2. Biaya Implementasi ERP yang cukup mahal dan tidak semua organisasi bisnis sanggup menanggungnya. 3. Permasalahan kesiapan para personil yang mungkin kurang dari segi mental maupun keahliannya. REFERENSI 1. [Jogiyanto HM. 2003] Sistem Teknologi Informasi terbitan Andi Offset Yogjakarta. 2. Sumber-sumber terkait lainnya. BIOGRAFI PENULIS Dindin Nugraha. Lahir di Bandung, 11 Oktober 1976. Menamatkan SMU di SMUN 10 , Bandung pada tahun 1995. Menyelesaikan program D1 pada jurusan Informatika dan Ilmu Komputer di Bandung pada tahun 1996-1997. Saat ini tengah bekerja sebagai praktisi TI di sebuah perusahaan distributor minuman swasta nasional. Informasi lebih lanjut tentang penulis ini bisa didapat melalui: Email: dinesea@lycos.com |
posted by siwacak @ 05.40 |
|
|
|
|
Posting Komentar